Apa boleh mencampur dua bahasa di satu kalimat?
Praktik ini bisa kita temui di berbagai tempat. Pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris seringkali disebut sebagai bahasa Jaksel. Kata-kata seperti “honestly, which is, so,” bercampur menjadi satu dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya, “honestly, gue juga gak tahu sih.”
Kegiatan ini biasa dilakukan oleh orang-orang bilingual. Selayaknya penggunaan bahasa daerah yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Sebenarnya, fenomena pencampuran bahasa sangat awam terjadi dan merupakan sifat alamiah dari kata-kata. Penyebabnya adalah bagaimana kita cenderung mencari padanan kata yang lebih pas untuk menggambarkan sesuatu. Di sana-lah bahasa lain dipinjam untuk menggantikan padanan kata yang kurang pas. Hal ini terjadi dengan cepat sehingga dapat luput untuk disadari. Pencampuran ini dinamakan Code-Mixing.
Bahasa hanya alat untuk menyampaikan pesan. Sehingga, pencampuran bahasa pun sebenarnya tidak masalah selagi pesan yang dimaksud tersampaikan dengan jelas.
Tidak Hanya di Indonesia
Pencampuran dua bahasa ini punya nama lain di berbagai negara. Di Malaysia, pencampuran bahasa Inggris dengan Malaysia dikenal dengan nama “bahasa rojak”. Sedangkan di negara tetangga lainnya, Singapura, sebutan Singlish akrab didengar. Perpaduan bahasa Inggris dan Singapura ini dikenal salah satunya dengan penambahan “lah” di belakang kata-kata bahasa Inggris.
Penyesuaian terhadap Kultur
Indonglish lebih dari sekadar pencampuran kata-kata, tapi juga pemakaian logat Indonesia di dalam bahasa Inggris. Selayaknya Singlish, Indonglish juga diikuti oleh penyampaian bahasa Inggris dengan logat bahasa ibu.
Praktik ini wajar karena logat merupakan bagian dari komunitas. Tidak perlu ragu dalam berbicara bahasa Inggris sekalipun tidak memakai logat Amerika atau British. Karena bagaimanapun, logat adalah salah satu yang kita bawa sebagai identitas kita sebagai orang Indonesia!